bintangpena.com -Ponorogo- Tidak ingin kembali kecolongan, atas insiden meninggalnya P (64) usai “jajan” di Kedung Banteng Sukorejo, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Ponorogo, menyisir sejumlah warung kopi yang diduga sebagai tempat transaksi. Alhasil, aparat meringkus dua pasangan bukan suami istri saat indehoi di Pasar Janti, Mlilir, Jenangan pada Selasa (10/1/2023). Kasatpol PP Ponorogo, Joni Widarto menuturkan sejak masuk tahun 2023 lalu, pihaknya sudah mulai aktif melakukan sosialisasi terkait penyakit masyarakat (pekat) tersebut. Ada tiga titik yang di sasar, yakni Kedung Banteng, Sukorejo, Pasar Janti, Ngrupit, Jenangan dan warung kopi Siman. “Sejak Jumat minggu lalu, kami sudah berkeliling untuk edukasi dan sosialisasi terkait praktik-praktik penyakit masyarakat itu,” katanya, Rabu (11/1/2023). Ketiga titik tersebut, kata Joni rata-rata berbentuk warung kopi atau warung ayu. Setiap warung, biasanya menyediakan dua sampai tiga kamar untuk bertransaksi. Jumlah warungnya pun beragam, ada yang 15 warung hingga 25 warung kopi. “Setelah kota edukasi dan sosialisasi, alhamdulillah untuk Kedung Banteng sudah tutup. Kedepan Warung Janti dan Siman juga demikian,” imbuhnya. Terkait razia yang dilakukan di Pasar Janti, kata Joni timnya berhasil mendata dua pasangan bukan suami istri. Dari keempat orang tersebut, dua pria berasal dari Kecamatan Babadan dan satu perempuan dari Kabupaten Kediri, serta satu lainnya dari Tulungagung. “Saat kita razia, mereka sedang berada dalam kamar. Dan mereka telah melanggar Perda nomor 5 tahun 2011, Bab 1 ketentuan umum pasal 1 ayat 27 tentang tindakan asusila,” tuturnya. Kasatpol PP Ponorogo, Joni Widarto saat memberikan keterangan di ruang kerjanya, Selasa (10/1/2023). Dalam razia kali ini, kata Joni aparat penegak perda tersebut masih sebatas mengingatkan dan edukasi terkait tindakan pelanggaran hukum. Jika satu minggu berikutnya, masih terdapat kegiatan serupa aparat tidak segan- segan menangkap dan menyerahkan mereka ke pihak berwajib. “Saat ini mereka kami data, dan kami serahkan ke Dinas Sosial dan PPPA untuk proses rehabilitasi. Jika masih melakukan kegiatan yang sama, ya terpaksa harus kami tangkap. Karena mereka sudah kami ingatkan,” tuturnya. Menurut Joni, masih adanya praktik prostitusi di sejumlah warung remang-remang, ternyata banyak dimanfaatkan oleh para Wanita Pekerja Seks (WPS) luar kota. Sedikitnya dari belasan perempuan yang di data Satpol PP Ponorogo, 70 persen berasal dari Tulungagung, Kediri, Ngawi, Pacitan bahkan ada yang dari Nganjuk dan Jombang. “Mirisnya lagi, banyak dari mereka yang masih berusia dibawah 25 tahun. Itu kan usia usia produktif,” ungkapnya. Selain alasan klasik seperti ekonomi, kata Joni para WPS itu mengaku jika mereka kesulitan mencari pekerjaan lain. Sehingga, memilih untuk terjun ke dunia esek-esek tersebut. “Tetapi ada juga yang mengaku malah menikmati aktivitas asusila tersebut. Selain sudah menjadi pekerjaan, mereka sudah nyaman dengan dunianya itu,” tuturnya. Meski begitu, Joni tidak akan tebang pilih dalam menyikapi temuan itu. Pihaknya tetap akan menindak tegas, baik kepada penjual maupun pembeli jasa “haram” itu. “Kami juga sudah mengamankan mucikarinya. Dan kami akan terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada mereka. Termasuk dengan menggandeng Forkopimcam serta komunitas dan warga setempat,” tegasnya. (daz) Post navigation Rukun dan Kondusif, Modal Utama Bangun Ponorogo Berkemajuan Dianggap Salahi Fungsi, Warung Remang Pasar Janti Ditutup