bintangpena.com -Ponorogo- Tiga belas tahun sudah tokoh pluralisme sekaligus Presiden keempat RI KH. Abdurrahman Wahid ( Gus Dur) wafat. Namun jiwa tokoh panutan lintas umat beragama itu, masih terpatri erat di benak masyarakat Indonesia. Khususnya bagi para Gusdurian. Untuk mengenang perjuangan cucu pendiri NU itu, maka ratusan pencintanya yang ada di Ponorogo berkumpul melaksanakan Haul ke-13 dengan doa bersama, serta menggelar panggung budaya dan testimoni tokoh pada Rabu (18/1/2023) di Pendapa Kabupaten Ponorogo. Berbagai bentuk budaya dihadirkan mulai dari musik hadroh, barongsai, pencak silat, tari tradisional hingga wayang kulit singkat oleh Ponpes ponpes Sunan Kalijaga Puyut, Plalangan, Jenangan, Ponorogo menjadi penutup acara yang berkesan. Testimoni para tokoh yang memakan waktu panjang, juga mendapat kesan di hati seluruh yang hadir. Perjuangan Gus Dur sebagai tokoh NU dan Kepala Negara dianggap sebagai simbol keadilan dan kesetaraan. “Kami ingin melanjutkan jejak keteladanan Gus Dur. Peninggalan pemikiran Gus Dur sangat mendalam sekali sehingga sampai saat ini dan di masa depan masih sangat relevan, salah satunya adalah memiliki integritas tinggi,” kata Abdillah Muizz, Koordinator Gusdurian Ponorogo. Muizz, yang malam itu sebagai moderator menyatakan, salah satu keteladanan Gus Dur adalah bagaimana Gus Dur selalu sejalan antara pemikiran dan perbuatan, jadi setiap gagasan selalu dilaksanakan. Sementara itu, KH.Abdul Mun’im seorang pengikut Gus Dur saat masih di Ciganjur menyatakan, ada tiga hal yang dilihat dan diketahui secara langsung dari Gus Dur. Yakni kejujuran, ketulusan dan keikhlasan. Menurut Abdul Mun’im, ketiga hal tersebut sangat berkesan baginya. Sehingga sebisa mungkin dilaksanakan. Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko, yang baru saja tiba dari Jakarta, terlihat antusias mengikuti acara hingga usai. Bupati juga menyatakan permohonan maaf, karena baru tiba. Sebagai salah satu pengagum Gus Dur, Sugiri mengaku rugi jika tidak bisa mengikuti acara tersebut. Apalagi sebagai mantan jurnalis Duta Masyarakat, Sugiri mengaku sering menulis sepak terjang Gus Dur saat masih di Tebu Ireng, Jombang. “Saya tadi gas pol rem pol dalam perjalanan dari Jakarta, agar bisa ikut acara ini. Apalagi ini tempatnya di Pendapa Agung, yang merupakan milik rakyat Ponorogo,” kata Bupati Sugiri. Murdianto, seorang tokoh pendidik dari NU yang menjadi penggerak Gusdurian di Ponorogo dalam pengantarnya mengatakan, sebagai jaringan pengagum Gus Dur maka wajib mengikuti sembilan ajaran yang diberikan. Meliputi ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kekesatriaan dan kearifan . “Kedekatan dan pembelaan Gus Dur terhadap setiap kalangan dan kelompok tertindas, memberikan inspirasi penguatan kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” jelas Murdianto. Hadir dalam kegiatan, yakni para tokoh seperti KH.Abdul Mun’im penderek Gus Dur di Ciganjur, Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko, Ketua PC NU Fatkhul Azis, para kiai, Banom NU, dan tokoh budaya di Ponorogo. Ada pula tokoh lintas agama, seperti dari tokoh agama Katholik, Protestan, Budha, Hindu, Islam, serta organisasi keagamaan serta aktivis gender dan penulis. (daz) Post navigation Nguri-Nguri Warisan Leluhur dalam Kirab Budaya Djoyo Negoro Slahung Ponorogo Masuk Usia Seperempat Abad, Smazaba Ponorogo Konsisten Dorong Siswa Lestarikan Seni Budaya